Kawan-kawan
saya sekarang sudah pandai bercakap, terlebih jika diajak bicara soal fiqih.
Biasanya saya hanya menjadi pendengar setia, sambil diam-diam mbatin dalam
hati, “perasaan podo2 mangan segone, kog pintere bedo yo!”. Ah, mungkin aku
terlalu asyik mencari Pokemon. Sehingga jauh terpaut antara aku dan mereka.
Jika bersama mereka, rasa-rasanya kog saya tidak lebih dari sedotan ale-ale.
Tetapi, justru dari situ saya selalu menemukan semangat baru kala berkumpul
dengan mereka.
Saya
tidak mau, sepulang nanti saya dicap sebagai “santri karbitan” hanya karena
tidak memiliki karakter dan jiwa santri yang kaffah. Sebagai santri Sarang,
saya ingin menjadi santri Sarang yang seSarang-sarangnya. Oleh karenanya saya
memilih untuk kembali bersekolah, kembali mengaji dan kembali menyantri.
Bahkan, setelah skripsi saya disidangkan #eh 😇
Santri
yang tidak bisa mengaji umpama tukang ojek tidak bisa naik motor. Lah mbok
peliiis, berhentilah qodlo subuh. Eh, salah, maksutnya berhentilah berfikiran
bahwa nyantri itu tidak lebih dari pindah tempat ngopi, stop!! Menjadi santri
adalah bagian dari tanggung jawab, yang wajib dipenuhi!!
Pesantren
tidak hanya mengajarkan kita pada Mubtada’ Khabar. Pesantren telah mengajarkan
kita banyak hal. Sebagaimana seringkali guru kami menyinggung, “pesantren
menjadikanmu manusia seutuhnya dan mengajarkanmu bagaimana memanusiakan
manusia”. Pesantren mengajak kita untuk menghayati kehidupan sekhidmat
mungkin, menemukan arti siapa aku, siapa kamu, siapa kita siapa mereka dan
beberapa siapa yang lain.
Saya
merasa, dalam tataran tertentu, nilai-nilai kemanusiaan yang saya jalani dalam
keseharian justru semakin terasah dan menyenangkan. Misalkan saja tentang
kesederhanaan, bagaimana menahan diri untuk tidak rakus, untuk menerima, saling
berbagi kepada sesama, dan sejumput nilai lainnya yang kian hari kian tidak
kita temui pada masyarakat modern.
Pesantren
mengajarkan arti peduli, untuk peka pada masalah-masalah sosial. Melalui
kepedulian itu, terwujudlah sebuah pengabdian. Bagian inilah yang paling saya
suka. Pesantren mencoba mengikis watak egoisme manusia kebanyakan. Pengabdian
bukan hanya menjadi contoh beku dalam pesantren, melainkan –sebagaimana yang
saya rasakan- sedikit demi sedikit menjadi karakter positif yang mendarah
daging dalam jati tiap santri. Prinsip untuk memperhatikan kemaslahatan umum,
untuk kemaslahatan bersama, bukan cuma “aku” atau yang penting “aku”.
Karakter
mengabdi ini akan mereka bawa terus sampai kelak mereka mengabdi pada komunitas
yang lebih luas. Mengabdi kepada masyarakat, kepada agama, bangsa dan negara.
Dalam
pesantren, perbedaan suku, ras, latar belakang dan karakter bersatu, beradu
padu menjadi sebuah irama yang nyaring sampai ke hati. Kalau untuk bicara
nasionalismenya, pesantren telah menjabarkannya secara tersirat. Guru kami
sendiri seringkali memberikan beberapa pemahaman yang dituangkan dalam berbagai
tindakan dan tradisi pesantren. Dengan mencoba melenyapkan sekat apatis
generasi muda masalah bangsa sambil membangun karakter cinta tanah air.
Sesekali Guru kami pernah menasihati “Bukan cuma Aqidah dalam beragama saja
yang perlu dijaga, aqidah dalam bernegara juga harus dijaga”. Hal ini, guna
memupuk kembali kepercayaan diri kami agar tetap bangga menjadi bagian dari
tanah, air, api dan udara Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Walhasil,
pesantren telah mengajarkan kita untuk menjadi manusia bertuhan yang mampu
menghayati arti kebangsaan.
=
Rajinlah mengaji untuk bekal kehidupanmu =
Tags:
Artikel